Kamis, 03 Juni 2010


Beberapa Hal yang Diperlukan dalam Penyelesaian Sengketa Secara Musyawarah Adat
Filed Under: antropologi, nias, penelitian, skripsi-antropologi Hukum, umum by dominiriahulu — Tinggalkan komentar
Maret 15, 2010

Penyelesaian sengketa tanah secara adat pada masyarakat Nias sejak dahulu hingga sekarang masih menggunakan daging babi mentah dan daging babi yang telah dimasak serta menyediakan beras. Jumlah daging babi yang disediakan sesuai dengan kemampuan dari pihak yang melaporkan sengketa dan juga kesepakatan dari penetua adat. Daging babi yang telah dimasak dan beras (yang telah dimasak) digunakan sebagai jamuan makan saat acara berlangsung.

Sedangkan, daging babi yang mentah digunakan setelah selesai kegiatan musyawarah sebagai simbol ucapan terimakasih dari pihak yang bersengketa terhadap tokoh agama, tokoh adat, saksi dan masyarakat yang datang. Pembagian daging babi mentah sesuai dengan tingkatan kekuasan orang-orang yang hadir pada saat penyelesaian sengketa (sebagai siteoli, tokoh agama/bangsawan, dan peran lain seperti saksi dan mediator)..

Selain daging babi, minuman khas Nias juga turut disediakan yakni Tuo atau tuak, bisa juga dengan minuman lainnya. Sedangkan kepala desa dalam hal ini selain menerima daging babi, pihak yang bersengketa juga memberikan hua meza salawa atau uang administrasi. Uang administrasi tersebut diserahkan setelah selesai acara musyawarah adat, ini nantinya akan dipergunakan oleh kepala desa sebagai pengganti dari biaya-biaya pengurusan rapat dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan musyawarah adat Hal lainnya yang disediakan oleh pihak yang bersengketa yakni memberikan uang kepada saksi yang disebut töngö-töngö, untuk besar uang yang diberikan terserah dari pihak yang bersengketa artinya tidak ada patokan secara adat.

Sejarah Etnis Nias
Filed Under: Sejarah P. Nias By Kornelis zalukhu

Nama pulau Nias memiliki cirikhas tersendiri dalam perkembangannya. Ini terlihat dengan berbagai tulisan dan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli yang peduli akan perkembangan Nias baik oleh orang Nias sendiri maupun masyarakat diluar komunitas Nias. Tulisan P. Johannes Maria Harmmerle dalam bukunya yang berjudul Interpretasi Asal Usul Masyarakat Nias suatu Interpretasi mengungkapkan bahwasanya ada beberapa nama yang pernah dijuluki di pulau Nias yakni:

a. Hulo Ge’e, Hulo Ge’e berarti Pulau burung Kekek, yang berarti suatu pulau kecil yang ditemukan orang dengan susah payah dan tangisan ditengah lautan atau Me föna latötöi Hulo Ze’e, Eluahania hulo side-ide nisöndra niha zerege tödö ma sege’ege.

b. Hulo Solaya-laya berarti pulau yang terapung-apung yang mana pulau ini dinilai kurang aman, yakni sebagai pulau yang menari-nari jika terjadi gempa bumi.

1. c. Uli Danö-Uli Ndrao, orang Nias hidup pada kulit tanah atau ba guli danö, dikatakan juga pada kulit tanah liat keras atau ba guli ndrao. Ada tiga jenis ndrao di pulau Nias yakni merah, hitam dan putih.

d. Uli Danö Hae, kelelahan hidup di atas tanah ini, tentu membuat orang bernafas dengan menghirup udara lewat mulut terbuka, mo-hae-hae. Maka dalam seni budaya Nias kita menemukan juga lagu atau tarian Böli Hae. Nama ini mengandung satu nasehat dan bagi yang membawakan tarian Böli Hae artinya jangan terengah-engah dengan kata lain para pemeran tidak menampilkan atraksi gemilang, sehingga nafas mereka terengah-engah atau humae-mae.

e. Ölia Ulidanö. Ölia adalah nama dari suatu jenis Liana yang memanjat batang-batang pohon di hutan rimba dan kemudian mengikat sekian banyak pohon pada bagian atas sehingga menjadi satu kesatuan. Liana ini disebut Ölia dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai tangga untuk memanjat pohon-pohon raksasa dalam mendirikan kediaman mereka di atas pohon-pohon raksasa dan menghindarkan mereka dari berbagai macam ancaman misalnya; binatang-binatang buas, suhu yang lembab dan sebagainya

f. Tanö Niha. Secara primodial banyak suku-suku di dunia menggangap dirinya lebih tinggi dari pada suku-suku lain. Gejala ini ditemukan pula di pulau Nias. Buktinya, orang Nias menyebut dirinya Niha atau Ono Niha, Artinya manusia atau anak manusia. Secara konsekwen mereka menyebut pulau tempat tinggal mereka Tanö Niha artinya bumi manusia. Sedangkan orang lain disebut ndrawa atau pendatang luar, orang asing. Zaman Hindia-Belanda mereka menyebut orang Belanda Ndrawa Hulandro istilah Hulandro tersebut diambil dari istilah Holland, lain halnya dengan keturunan Cina yang disebut Gehai atau Kehai.

g. Payung Matahari,dalam tesis Yoshiko Yamamoto di Universitas Cornell, 1986 dalam Harmmerle (1999:8) mengungkapkan suatu dokumen yang historis dari abad ke-15 yang menuliskan bahwa orang Cina menamakan pulau Nias sebagai payung matahari. Artinya bahwa di pulau Nias payung matahari merupakan sesuatu yang penting atau penghuni pulau ini menggemari pemakaian payung matahari.

h. Teteheli Ana’a dalam tanggapan Pastor Johannes dalam tulisannya tentang asal-usul masyarakat Nias mengungkapkan bahwa Teteheli Ana’a tidak merupakan lawan kata dengan daerah tandus seperti gurun pasir. Teteheli Ana’a diartikan sebagai sebutan suci untuk mengungkapkan asal usul manusia dari rahim ibu, sebelum dilahirkan ke dunia ini. Tanah dipecahkan (ibago tanö) dalam mite diartikan sebagai perkawinan dan mengisyaratkan persetubuhan. Dengan berbagai gambaran bahasa mitos melukiskan, bahwa tubuh wanita makin berkembang. Perkembangan itu diuraikan dari dunia atau tanah pertama (tanö si sara) sampai pada dunia kesembilan (tanö si siŵa). Sembilan bidang tanah atau sembilan dunia itu diartikan sebagai umur kehamilan. Sembilan bulan lamanya ibu mengandung, atau kendungan berkembang selama sembilan bulan. Kesimpulan Teteheli Ana’a atau dengan kata lain Teteheli Hamo adalah kata kiasan terhadap kandungan sang ibu.